Religiousitas Sains: Why not!!
June 14, 2012
Saya merasakan betul, bahwa di zaman modern
ini, banyak kalangan terutama ilmuwan telah mendepak pemikiran keagamaan dalam
karya ilmiah mereka. Sehingga hasill pemikiran mereka dalam ilmu-ilmu sosial
terkesan sangat dangkal dan kering dari nilai-nilai pemikiran sosial keagamaan.
Keadaan semacam ini, cepat atau lambat akan menjadi racun yang teramat
berbahaya yang menimbulkan destruktif kemanusiaan. Para ilmuwan mungkin sengaja
atau keliru mengatakan ilmu itu bebas nilai, tergantung pemakainya (user). Boleh jadi ilmu pengetahuan dapat
berfungsi ganda, yaitu untuk kebaikan sekaligus juga kerusakan/kejahatan.
Padaha pemikiran ilmu bebas nilai itu merupakan penyimpangan (anomali) yang paling serius terhadap
filsafat sebagai ibu kandungnya (mother
of sciences).
Karena
filsafat dalam makna umumnya adalah cinta kebajikan atau wisdom. Maka setiap ilmu yang terlahir dari rahimnya harus menjadi
ilmu untuk kebajikan, bukan destruktif. Atau dengan pengertian lain, ilmu-ilmu
itu harus menjadi anak-anak yang saleh/salehah sesuai dengan keinginan ibu
kandungnya (filsafat), jangan sebagai anak-anak yang durhaka. Dengan demikian
maka ilmu yang dilahirkan oleh filsafat itu dapat menjadikan kita tahu tentang
kebaikan (knowing to the good), dan
melakukan kebaikan (acting to the good).
Ismai
Razi Al-Faruqi dalam bukunya: Islamization
of Knowledge: General Principle and Work Plan (1982) telah menuangkan
pemikirannya tentang perlunya gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebagai
protesnya terhadap pandangan Barat bahwa kedudukan ilmu itu netral. Islamisasi
ilmu pengetahuan menurutnya adalah mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan
cara merumuskan kembali ilmu-ilmu itu dengan memberikan dasar dan tujuan yang
konsisten dengan Islam dengan makna generiknya yaitu keselamatan, kedamaian dan
kesucian. Dengan demikian maka islamisasi ilmu pengetahuan itu artinya
mengungkapkan, menghubungkan dan menyebarluaskan menurut sudut pandang ilmu
terhadap kehidupan manusia agar dapat terwujudnya kemakmuran, kesejahteraan dan
perdamaian. Untuk menghindari kerancuan ilmu dalam pandangan Barat, Al-Faruqi
mengemukakan prinsip metodologi Tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran.
Dalam
perspektif ini, Al-Faruqi telah mendudukkan ilmu dalam posisi yang benar, yaitu
sebagai bagian dari hidayah Tuhan pada manusia disamping agama. Metode Tauhid
adalah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pintu masuk (entry point) untuk meyakini keberadaan-Nya dan ketunggalan-Nya.
Disini, manusia baik sebagai produsen maupun konsumen ilmu pengetahuan dalam
proses perolehan dan pemanfaatannya harus mendukung eksistensi Tuhan sebagai
satu-satunya Khaliq pencipta alam semesta.
Proses
pemikiran dengan nuansa ketuhanan seperti inilah yang menjadi inspirasi Prof.
Dr. Abdussalam, pemenang hadiah Nobel untuk Ilmu Fisika pada tahun 1979.
Fisikawan muslim Pakistan ini percaya betul akan ke-Esa-an Allah (Tauhid).
Baginya, kalau Allah itu Esa tentu ada konsekuensi logisnya, yaitu segala macam
kekuatan alam ini mesti kembali ke satu tangan. Satu tangan berarti satu
formula dasar yang bersumber dari yang satu (Esa – Tauhid). Akan tetapi dalam
dunia fisika dikatakan bahwa kekuatan atau gaya ada tiga macam, yaitu elektromagnet,
gravitasi dan nuklir. Terhadap ketiga gaya tersebut, Prof. Abdussalam sangat
gelisah dengan ilmu fisika yang digelutinya. Pertanyaan-pertnayaan genit pun
mulai tampak dilontarkan sebagai upaya menghibur kegelisahannya. Mengapa ada
gaya-gaya dasar tiga macam yang kelihatannya hukum-hukumnya tidak sama? Mengapa
Tuhan menciptakan gaya-gaya itu seolah-olah sumber kekuatan semesta ada tiga.
Ini bertentangan dengan Tauhid, gumamnya. Sebagai ilmuwan, Prof. Abdussalam
lantas ingin membuktikan bahwa kekuatan-kekuatan itu harus kembali pada formula
dasar yang satu. Ia pun meninggalkan Pakistan menuju Amerika Serikat dan Jenewa
mencari laboratorium untuk digunakan membuktikan teorinya. Ketika terbukti
bahwa tiga gaya atau kekuatan itu bisa dikembalikan pada satu formula dasar,
maka dunia pun takjub. Dia dipanggil ke Stockholm untuk berpidato dalam upacara
pemberian hadiah nobel atas penemuannya. Dalam pidatonya ia memulai dengan
memuji Tuhan. Dia mengatakan bahwa Tauhidullah yang menjadi motivasi utama atas
usaha penelitiannya! Dia hendak membuktikan bahwa ciptaan Allah tidak
mengandung kepincangan (QS Al-Mulk: 3) dan diciptakan oleh satu tangan saja.
Tidak ada dualisme kekuasaan di dalam alam semesta ini, satu tidak ada yang
menggeser, tidak ada Tuhan selain Dia Allah Yang Esa (Tauhid). Prof. Abdussalam
menghimbau seluruh dunia Islam bangkit, meneruskan penemuannya yang cemerlang
itu, dan tidak hanya menggantungkannya pada ilmuwan Barat. Kita harus menemukan
sendiri teori-teori tersebut. Ilham penemuan ini bisa dicari dalam Al-Qur’an.
Misalnya tentang pengertian tujuh langit dan bagaimana wujud idabbah penghuni angkasa luar diketahui.
Himabuan
dan harapannya ternyata mendapat respon dari ilmuwan Barat. Satu diantaranya
adalah Bruno Guiderdoni yang masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul
Haqq. Dr. Bruno “Abdul Haqq” Guiderdoni Direktur Riset Institut Astrofisika
Paris-Perancis dalam bukunya: Membaca
Alam Menemukan Tuhan: Sebuah Pencarian Saintifik Religius (2003)
mengatakan: “Saya begitu yakin penafsiran saya mengenai hubungan ilmu dan agama
itu. Walaupun teori atau data yang menjadi dasar penafsiran tersebut bisa
berubah. Menurut saya memang itulah harkat pencarian ilmiah. Kita hanya bisa
mengatakan bahwa kita memang tidak mendapatkan jawaban final di dunia ini.
Dengan bertambahnya ilmu ketidaktahuan kita juga bertambah, wilayah-wilayah baru
ditemukan. Tapi, sementara kita diwajibkan mengamati alam semesta.
Manusia
tidak diwajibkan mengetahui segalanya tentang dunia ini. Alam semesta terlalu
besar untuk memberikan jawaban final. Saya hanya mengharapkan janji Tuhan bahwa
kelak Ia akan membukakan rahasia semuanya kepada kita. Selanjutnya Abdul Haqq
mengatakan: Ahli Kosmologi saat ini mengajukan teori lain untuk menghindari
sebab final ini, yang disebut pengembangan kaotik (chaotic inflation). Menurut teori ini, kepingan-kepingan ruang
waktu, salah satunya alam semesta yang kita diami ini, muncul sebagai akibat
pengembangan kaotik tersebut. Teori itu berjalan agak jauh, tapi lalu berhenti
pada persoalan yang sama, yaitu sebab final. Abdul Haqq pun memandang pencarian
ahli kosmologi sebagai pencarian tanpa akhir. Menurutnya ini mirip dengan
pandangan Filsafat Islam Ibnu Al-Farabi yang menganggap kosmos adalah pusat
pengungkapan diri Tuhan. Oleh karena itu, fenomena baru terus menerus terwujud,
mirip terbentuknya kepingan-kepingan ruang-waktu. Kemiripan inilah yang disebut
Abdul Haqq sebagai konvergensi metafisis antara sains dan agama. Konvergensi
metafisis itu pula tampaknya yang membuat Abdul Haqq merasakan Astrofisika
sebagai bagian dari realitas Tuhan yang dalam bahasa Islam disebut sebagai Al-Haqq.
Melepaskan
ilmu dari agama akan sama halnya kita sedang berjalan menuju lorong kegelapan (black hole) yang hanya menjanjikan tragedi kemanusiaan
yang tidak pernah berhenti. Kita tidak boleh berlagak bodoh tentang tragedi
kemanusiaan yang telah terjadi pada tahun 1945 oleh tentara Amerika Serikat
dengan sekutunya. Manusia-manusia yang tidak berdosa menjadi korban kebiadapan
mereka melalui kekuatan Bom Atom yang menghancurkan penghuni di distrik
Nagasaki dan Hiroshima Jepang. Bila Albert Einstein, fisikawan abad ke-20 itu
ditakdirkan hidup kembali, maka dia akan membawa para pemimpin Amerika Serikat
dengan sekutunya ke Mahkamah Pengadilan Internasional di Den Haag. Sudah tentu
tuduhannya adalah pelanggaran HAM terberat dan terbesar karena menyalahgunakan
ilmu fisika yang diajarkannya.
Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju
Peradaban Zaman (Diskursus Filsafat Ilmu) harus dipahami dan dimaknai
sebagai upaya pencerahan ilmu pengetahuan dengan agama sebagai dua kekuatan
yang saling bersinergi. Sinergitas keduanya pada gilirannya akan membangun
peradaban baru yang lebih komunitas dan bermartabat. Disinalah pencitraan etos
keilmuan yang harus dibangun dalam kerangka agama dan ilmu, tanpa
mendikotomikan keduanya. Kita juga tidak boleh lagi melakukan kesalahan yang
sama dengan menempatkan knowledge is
power yang melahirkan keserakahan bahkan keangkuhan manusia pada Tuhan.
Dengan mensinergikan Religion is power
bersama knowledge is power akan
melahirkan ilmu yang membawa manfaat bagi sesama di semesta alam ini. Hal-hal
seperti inilah yang kita lakukan ke depan dengan menjadikan ilmu sebagai
penjaga gawang peradaban manusia.
Kita
harus beradab dan selalu membicarakan sejarah peradaban terutama kelahiran ilmu
pengetahuan secara jujur dan bertanggungjawab. Selama ini kita telah melakukan
kesalahan fatal, yaitu sengaja memutuskan mata rantai sejarah lahirnya ilmu
pengetahuan. Seringkali ilmuwan kita sebagaimana ilmuwan Barat mengulas sejarah
ilmu pengetahuan hanya memulai dari zaman Yunani Kuno. Para ilmuwan Yunani Kuno
seperti Thales, Permenedies, Socrates, Plato dan Aristoteles disebut sebagai
pelopor pembangunan ilmu pengetahuan. Mereka sama sekali mengabaikan
kepeloporan ilmuwan pertama, yaitu Nabi Adam AS., yang mendapat pengajaran
langsung dari Maha Gurunya Allah SWT (QS Al-Baqarah: 31-32). Konsekuensi logis
dari itu adalah ilmuwan muslim seperti Iskandar Zulkarnain yang dikenal sebagai
Lukmanul Hakim, Abdan Saleh yang dikenal sebagai Nabi Khidir AS dan seterusnya
sampai pada Ibnu Sina, Al-Farabi, Ar-Razi, Al-Jabir, Al-Khawarizmi, Al-Masudi,
Al-Biruni, Umar Khayyam nyaris hilang dalam sejarah peradaban ilmu
pengetahuan.Sayyed Husein Nashr dalam bukunya An Introduction to Islamaic Cosmological Doctrines (1992)
mengatakan: Adam A.S telah mewariskan ilmu-ilmu kepada anaknya Syith bin Adam
A.S, yang dikenal orang pertama dalam masyarakat Yunani Kuno. Beliau merupakan
guru dari Nabi Idris yang diketahui oleh Yunani Kuno sebagai Hermes dimana ia
dianggap bapak dari ilmu-ilmu Yunani Kuno. Beliau merupakan penggagas sains,
astrologi, astronomi, geometri dan mekanikyang menurut Tasy Kubra Zada, Nabi
Idris merupakan sumber semua ilmu berbentuk teori dengan hikmah, Nabi Idris
atau Hermes telah menyediakan Mesir sebagai pusat pengajarannya. Dari sinilah
beliau mengajarkan murid-muridnya tentang kaidah/asas dalam ilmu pengetahuan
dan astronomi yang telah mendapatkan keilmuan mereka, yaitu melalui murid-murid
Hermes. Tokoh-tokoh Yunani Kuno seperti Thales, Socrates dan Plato diketahui
pernah berada di Mesir untuk belajar pada murid-muridnya Hermes (Mat Rofa
Ismail, Mantiq dalam Babak Ilmiah
Tamaddun Manusia, 1997).
Temuan-temuan
ilmiah tersebut diatas seharusnya membuat para ilmuwan memiliki kejujuran
ilmiah untuk mengatakan bahwa pelopor ilmuwan pertama dalam sejarah adalah Nabi
Adam A.S, bukan Thales dan kawan-kawannya. Kejujuran ilmuwan tersebut sangat
penting untuk menghindari diri dari kebohongan publik dalam bidang akademis,
sekaligus menjaga jati diri kita sebagai ilmuwan yang jujur. Sebagai ilmuwan,
apapun agama kita, prinsip “jangan ada dusta diantara kita” harus menjadi tolok
ukur menjaga objektivitas sebagai narasumber, belajar dan mengajar yang benar.
Karena dengan belajar dan mengajar yang benar, sesungguhnya kita telah
melaksanakan fungsi kekhalifahan kita di muka bumi ini, yaitu sebagai pemakmur
bumi (QS Hud: 61). Oleh sebab itu melibatkan agama dalam sains merupakan
keharusan dengan terus menjadi agenda penting kedepan menuju peradaban baru
yang lebih bermartabat. Kita juga harus sadar bahwa di dalam agama tidak hanya
mengajarkan persoalan ritual saja, melainkan juga persoalan sosial. Satu
diantaranya adalah persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai seluk-beluknya
baik secara gradual maupun rinci. Katakanlah soal asal usul kata “ilmu”, ini
bukan bahasa Yunani Kuno, dan bukan bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan
Indonesia. Kata “ilmu” berasal dari bahasa agama (Al Qur’an) dan disebut
berulang-ulang sampai seratus lima kali. Demikian pula perintah membaca
(iqra’), berpikir (tafakkarun), berakal (ta’qilun) dan berdzikir (tazakkarun)
yang merupakan kata-kata kunci sebagai pintu masuk (entry point) dalam mengguasai ilmu pengetahuan juga bersumber dari
agama (Al Qur’an).
Sumber: Saduran pengantar buku Meretas Jalan
Menuju Zaman (Diskursus Filsafat Ilmu) oleh Prof. Dr. Thohir Luth, M.A.
0 komentar